BAB I
PENDAHULUAN1.1 latar Belakang
Semantik memegang peranan penting dalam berkomunikasi. Karena bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi adalah tidak lain untuk menyampaikan suatu makna (Sutedi :2003:103). Misalnya seseorang menyampaikan ide dan pikiran kepada lawan bicara, lalu lawan bicaranya bisa memahami apa yang disampaikan. Hal ini disebabkan karena ia bisa menyerap makna yang disampaikan dengan baik. Semantik tidak hanya membahas kata-kata yang bermakna leksikal saja, tetapi juga membahas makna kata-kata yang tidak bermakna bila tidak dirangkaikan dengan kata lain seperti partikel atau kata bantu, yang hanya memiliki makna gramatikal.
Bagi pembelajar bahasa Jepang, terkadang suatu kata, maknanya tidak dimuat secara keseluruhan, baik dalam kamus maupun dalam buku pelajaran bahasa Jepang. Akibatnya pembelajar bahasa Jepang sering melakukan kesalahan dengan penutur asli. Maka untuk mengantisipasi hal hal tersebut, dan juga karena komunikasi merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, kebutuhan untuk memahami semantik menjadi sangat penting.
1.2 Tujuan
Tujuan makalah ini adalah untuk memahami pengertian semantik, cakupannya, dan memahami pengertian makna.
1.3 Rumusan masalah
Rumusan masalah yang diutarakan dalam masalah ini adalah :
1. Pengertian semantik
2. Cakupan semantik
3. Pengertian makna
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Semantik
Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris : semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti tanda atau lambang. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang disini sebagai padanan kata dari sema itu adalah tanda linguistik. Seperti yang dikemukan oleh Ferdinand De Saussure dalam Chaer (1994:285) bahwa setiap tanda linguistik terdiri dari dua komponen yaitu : (1) komponnen yang mengartikan yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa. Misalnya, (Perancis : significant, Inggris : signifier) dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen pertama. Misalnya, (Perancis : signifie, Inggris : signified) sebenarnya tidak lain daripada konsep atau makna sesuatu tanda bunyi. Kedua komponen ini adalah merupakan tanda atau lambang, sedangkan yang ditandai atau yang dilambanginya adalah sesuatu yang berada diluar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk.
Dalam bahasa Jepang ilmu yang mempelajari makna kata disebut imiron. Menurut Hiejima (1992:2) semantik adalah penelitian tentang makna kalimat/makna frase.
Kata semantik itu kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi linguistik yang mempelajari makna atau arti bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa : fonologi, gramatikal dan semantik.
Selain istilah semantik dalam sejarah linguistik ada pula digunakan istilah lain seperti semiotika, semiologi, semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang. Namun, istilah semantik lebih umum digunakan dalam studi linguistik karena istilah-istilah yang lainnya itu mempunyai cakupan objek yang lebih luas, yakni mencakup makna tanda atau lambang pada umumnya. Sedangkan cakupan semantik hanyalah makna atau arti yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal.
2.2 Cakupan Semantik
Sutedi (2003 : 103) menuturkan bahwa objek kajian semantik antara lain makna kata (go no imi), relasi makna (go no imi kankei) antar suku kata dengan kata lainnya, makna frase dalam suatu idiom (ku no imi), dan makna kalimat (bunpo imi).
1. Makna Kata
Dalam bahasa jepang terdapat Ruigigo/dogikankei atau yang disebut dengan sinonim, yang dalam bahasa Indonesia sulit dipadankan di dalam kamus satu persatu. Misalnya dalam bahasa Indonesia = memakai. Dalam bahasa Jepang kata memakai dapat dibedakan sebagai berikut :
しめる’shimeru’ (digunakan untuk pakai dasi)
使う ‘tsukau’ (menggunakan/memakai)
着る ‘kiru’ (digunakan untuk pakai pakaian)
かぶる ‘kaburu’ (digunakan untuk pakai topi dsb yang dilakukan dari atas ke bawah)
かける’kakeru’ (digunakan untuk pakai kacamata)
はく’haku’ (digunakan untuk pakai sepatu, celana dsb yang dilakukan dari bawah ke atas)
使用する ‘shiyousuru’ (menggunakan/memakai)
はめる’hameru’ (digunakan untuk pakai cincin, arloji, sarung tangan dsb).
Contoh lain yaitu verba ochiru (落ちる), korobu (転ぶ), dan taoreru (倒れる) merupakan verba yang bersinonim, ketiga verba tersebut dalam bahasa Indonesia bisa dipadankan dengan jatuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ochiru digunakan untuk menyatakan jatuh dari ketinggian, korobu digunakan untuk menyatakan jatuh ketika sedang melaju, dan taoreru digunakan untuk menyatakan jatuh sampai tergeletak. Dalam bahasa Jepang pun terdapat kata yang memiliki makna lebih dari satu makna atau Polisemi yang dalam bahasa jepang disebut dengan tagigo, misalnya pada kata あげる ‘ageru’.
• かいだんをあげる ‘kaidan o ageru’ ( naik)
• 料理をあがる ‘ryouri o ageru’ (siap memasak)
• 家にあがる ‘ie ni ageru’ (masuk rumah)
• 犯人があがる ‘hannin ga ageru’ ( penjahatnya tertangkap)
Sutedi (2004:141-142) menjelaskan untuk mendeskripsikan makna dalam polisemi antara lain dapat digunakan tiga macam gaya bahasa (majas) yaitu :
a) Metafora adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu hal atau perkara dengan cara mengumpamakan dengan perkara atau hal yang lain, berdasarkan pada sifat kemiripannya/kesamaannya.
Contoh :
男は狼である (Sutedi, 2009:72)
Otoko wa ookami de aru.
Laki-laki itu (semuanya) srigala. (=buaya darat)
b) Metonimi adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan suatu hal atau perkara dengan cara mengumpamakannya dengan perkara atau hal lain, berdasarkan pada sifat kedekatan atau keterikatan antara kedua hal tersebut.
Contoh :
なべが煮える (Sutedi, 2009:75)
Nabe ga nieru
Panci mendidih
c) Sinekdok adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu hal atau perkara dengan cara mengumpamakannya dengan hal atau perkara yang lain, atas dasar sifat mencakup dan tercakup (hubungan meliputi dan diliputi) dari kedua hal tersebut.
Contoh :
毎朝、パンとたまごをたべて いる。
Maiasa, pan to tamago o tabete iru.
Tiap pagi (saya) makan roti dan telur.
(telur yang dimaksud disini berarti telur ayam)
2. Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lain. atau menyusun kelompok kata (goi) berdasarkan kategori, dalam relasi makna terbagi 3 kategori, yaitu :
• Sinonim (類義関係 ’ruigikankei’・度技官系 ’tabigikankei’): hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya.
Contoh : 話す’hanasu’ (berbicara) = 言う’iu’ (berkata)
• Antonim (版木関係 ’hangikankei’ ) : hubungan semantik dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan dengan ujaran yang lain.
Contoh : 高い’takai’ (tinggi)x 低い ‘hikui’ (rendah)
Jenis antonim :
a. Antonim yang bersifat mutlak, contoh : diam x bergerak
b. Antonim yang bersifat relatif / bergradasi, contoh : jauh x dekat
c. Antonim yang bersifat relasional, contoh : suami x istri
d. Antonim yang bersifat hierarkial, contoh : tamtama x bintara
• Super ordinat (上下関係 ‘jyougekankei’)
Cth: どうぶつ;犬、猫、鳥、馬。
3. Makna Frase
Dalam bahasa Jepang, ‘hon o yomu’ , ‘kutsu o kau’, dan ‘hara ga tatsu’<*perut berdiri (=marah)> dianggap suatu frase, dalam makna frasa terdapat 2 makna yaitu: makna frase secara leksikal dan makna frase secara idiomatikal.
Frase ‘hon o yomu’ dan ‘kutsu o kau’ dapat dipahami cukup dengan mengetahui makna kata-kata hon, kutsu, kau, dan o; ditambah dengan pemahaman tentang struktur kalimat bahwa ‘nomina + o + verba’. Jadi, frase tersebut bisa dipahami secara leksikalnya (mojidouri no imi). Tetapi, untuk frase ‘hara ga tatsu’ meskipun kita mengetahui makna setiap kata dan strukturnya, belum tentu bisa memahami makna frase tersebut, jika makna frase secara idiomatikalnya (kan-yokuteki imi) belum diketahui.
Lain halnya dengan frase ‘ashi o arau’, ada dua makna, yaitu secara leksikal yakni mencuci kaki, dan juga secara idiomatikalnya yakni berhenti berbuat jahat. Jadi, dalam bahasa Jepang ada frase yang hanya bermakna secara leksikal saja, ada frase yang bermaknasecara idiomatikalnya saja, dan ada frase yang bermakna kedua-duanya.
4. Makna Kalimat
Makna kalimat juga dijadikan objek kajian semantik, karena suatu kalimat ditentukan oleh makna setiap kata dan strukturnya. Misalnya, kalimat: ‘Watashi wa yamada san ni megane o ageru’ dengan kalimat: ‘Watashi wa Yamada san ni tokei o ageru’ , jika dilihat dari strukturnya, kalimat tersebut sama yaitu: “A wa B ni C o ageru”, tetapi maknanya berbeda. Hal ini disebabkan makan kata megane dan tokei berbeda. Oleh karena itu, jelaslah bahwa makna kalimat ditentukan oleh kata yang menjadi unsur kalimat tersebut.
Lain halnya dengan kalimat: ‘Watashi wa Yamada san to Tanaka san o matte iru’, terkandung dua makna, yaitu /Watashi wa/ /Yamada san to Tanaka san o/ /matte iru/ dan /Watashi wa/ Yamada san to isshoni/ /Tanaka san o/ /matte iru/ . Dari sini bisa diketahui bahwa dalam suatu kalimat bisa menimbulkan makna ganda yang berbeda. Untuk itu, perlu dibedakan yang mana garapan semantik dan yang mana garapan pragmatik, mengingat kedua bidang tersebut sama-sama mengkaji tentang makna. Misalnya, kalimat: ‘Kimi tokei o motteru?’ , jika diucapkan pada anak kecil yang pada saat itu sedang latah memakai jam, maka ia akan menjawab: ‘Iya, motte nai’ bagi anak yang tidak memakai jam, sedangkan bagi yang memaki jam, ia akan menjawab dengan bangga: ‘Hai, motte ru’ sambil memperlihatkan jam tersebut. Lain halnya jika kalimat tersebut ditujukan pada orang dewasa, ia akan menjawab misalnya ‘10ji 45fun da yo’.
Dengan demikian, kalimat yang sama jika diucapkan pada situasi dan kondisi yang berbeda akan berbeda pula maknanya. Jadi, kajian semantik dan pragmatik sama-sama menggarap makna kalimat, tetapi garapan semantik menyangkut makna kalimat secara aslinya (makna dalam bahasa), sedangkan untuk garapan pragmatik berupa makna kalimat yang tergantung pada situasi dan kondisinya (makna luar bahasa).
2.3 Pengertian Makna
Semantik merupakan salah satu bidang Linguistik yang mempelajari tentang makna. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam Mansoer Pateda, 2001:82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian.
Dalam hal ini Ferdinand de Saussure (dalam Abdul Chaer, 2003:287) mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik.
Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi :
1. maksud pembicara;
2. pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia;
3. hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya,dan
4. cara menggunakan lambang-lambang bahasa (Harimurti Kridalaksana, 2001:132).
Bloomfied (dalam Abdul Wahab, 1995:40) mengemukakan bahwa makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya. Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin (1998:50) mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahsa dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahsa sehingga dapat saling dimengerti.
Dari pengertian para ahli bahsa di atas, dapat dikatakan bahwa batasan tentang pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau kata.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa semantik adalah bidang studi linguistik yang mempelajari makna atau arti bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa : fonologi, gramatikal dan semantik. Sedangkan cakupan semantik hanyalah makna atau arti yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal. Dalam hal ini pengertian makna, Ferdinand de Saussure (dalam Abdul Chaer, 2003:287) mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik. Berkaitan dengan ini, tentang pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau kata.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT.Rineka Cipta
repository.upi.edu/operator/upload/s_jep_034416_chapter2.pdf (Jumat,12 Agustus 2011, 19:55)
http://susilo.adi.setyawan.student.fkip.uns.ac.id/category/artikelku/ (Jumat, 12 Agustus 2011, 20:05)