Analisis Novel Kappa Dengan Pendekatan Sosiologi Karya Sastra

23.03.00



 Analisis Novel Kappa Dengan Pendekatan Sosiologi Karya Sastra

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Arenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan social. Kehidupan social akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya. Dalam pandangan Wolff (Faruk, 1994:3) sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat. Ia juga menawarkan studi sosiologi yang lebih vestehen atau enomenologis yang sasarannya adalah level “makna” dari karya sastra.

Dalam novel kappa ini, penulis menganalisis dengan menggunakan pendekatan sosiologi karya sastra. pada novel ini pun Ryunosuke Akutagawa sebagai penulis novel Kappa ini mengkritik kehidupan sosial kehidupan dan budaya Jepang pada masa novel ini ditulis. Novel ini merupakan gambaran kritis dari masyarakat intelektual Jepang pada tahun 1920-an. Kappa adalah representasi dari masyarakat manusia yang dengan set yang sama tetapi solusi yang dihadapi berbeda. Kappa yang merupakan makhluk mitos dari cerita rakyat Jepang digambarkan makhluk supranatural air. Dalam novel ini, seorang pasien no.23 di sebuah rumah sakit Jepang bercerita tentang perjalanannya di negeri bawah tanah, yang dimana kehidupan disana terbalik dengan kehidupan di Jepang. Pada intinya, novel ini bercerita tentang realitas kehidupan si pengarang yang menyoroti tentang proses kelahiran anak dan kegilaan ibunya, sensor atas seni, hubungan lelaki dan perempuan, agama, dan modernisme.

2.4.1 Kegilaan Ibunya dan Proses Kelahiran Anak

Tentang kegilaan ibunya, Ryunosuke mengemas ide yang dituangkan dalam novel kappa ini semata-mata karena keadaan diri Ryunonosuke yang di ambil hak asuhnya oleh bibinya karena ketidakmampuan ibunya mengurusnya disebabkan karena depresi yang melandanya. Fenomena ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa ibunya pernah menggambar tentang anak-anaknya, tetapi ironisnya, kepala anak-anaknya diganti dengan serigala. Keadaan ini memberikan tekanan kepada Ryunosuke.

Dalam novel itu diperlihatkan bahwa telah terpasang spanduk di jalan-jalan yang bertuliskan bahwa para pasukan kappa yang gagah perkasa dan kuat-kuat hendaklah mengawini kappa betina yang lemah dan cacat untuk membunuh keturunan yang jelek. Ini semata-mata adalah sindiran yang di tujukan kepada seluruh warga di negeri Sakura bahwa memang manusia yang memiliki kekurangan seolah tak diharapkan dan harus di basmi karena dianggap akan memberikan keturunan yang jelek bagi warga di negeri bunga Sakura ini. Sensor lain dari kehidupan Ryunosuke yang tersirat dalam goresan tinta di lembar novel kappa ialah ketika Bag harus bertanya kepada anaknya apakah ia mau dilahirkan atau tidak, tetapi anak Bag justru tidak mau dilahirkan karena dia tidak mau menuruni kegilaan orang tuanya dan bahwa eksistensi kappa dianggap sebagai suatu kejahatan.

Di negeri Kappa, seorang bayi Kappa berhak untuk memutuskan apakah ia ingin dilahirkan ke dunia Kappa atau lebih menolak untuk dilahirkan. Disana tidak ada takdir yang menentukan bahwa seorang bayi itu harus lahir. Pada saat akan dilahirkan bapak dari calon bayi Kappa itu akan bertanya kepada calon anaknya apakah ia bersedia untuk dilahirkan kedunia Kappa. Jika si bayi tidak bersedia, maka perut si Kappa betina pun serta merta akan kempis secara kilat. Keadaan ini sangat berbeda dengan dunia manusia. Seorang bayi manusia tidak bisa menentukan nasibnya untuk dilahirkan ke dunia dan memilih orang tua mereka. Melainkan takdir lah yang menentukan apakah bayi itu dapat lahir atau tidak selamat ketika dilahirkan. Dan seorang bayi manusia pun tidak dapat memilih orangtua yang mereka kehendaki. Pada kasus ini merupakan ungkapan kekecewaan Ryunosuke Akutagawa terhadap takdir yang membuat dirinya harus terlahir dari rahim seorang wanita yang akhirnya diketahui menderita sakit jiwa.

2.4.2 Sensor atas Seni

Lepas dari itu, Akutagawa banyak memberikan sentilan kepada kehidupan para seniman Jepang. Di negeri matahari terbit ini, dijelmakan dalam dunia kappa bahwa seni tidak dibiarkan berkembang secara bebas, bahkan seni dianggap sebagai larangan. Jiplakan ini disoroti dalam kisah ketika penyair Tok, Krabach sang seniman memainkan musik dalam suatu pentas seni. Yang terjadi di tengah maraknya pementasan seni kappa adalah munculnya polisi kappa secara tiba-tiba yang mengharuskan agar pementasan seni di hentikan. Beginilah sudut pandang Akutagawa dalam menilai tanggapan pemerintah atau aparat terhadap seni.

2.4.3 Hubungan Laki-laki dan Perempuan

Cara bercinta negeri Sakura ini juga digambarakan dalam Kappa. Ini terjadi karena ketidakseimbangan kuantitas laki-laki dan perempuan. Untuk itu, perlu sekali diadakan pelestarian keturunan untuk menutupi angka kekurangan yang muncul dalam kategori gender. Hal ini diperlihatkan dalam fenomena betapa menyedihkan melihat kappa betina yang mengejar kappa jantan selama berbulan-bulan. Kappa jantan akan bersembunyi atau menghindar dari incaran kappa betina.

2.4.4 Sensor terhadap Agama

Tak hanya itu yang menjadi santapan Akutagawa yang akan diberitakannya lewat jembatan kappa, tetapi agama pun tak luput dari incarannya. Ini adalah pengantar menuju suatu pemikiran baru tentang agama kappa. Dia kemudian bertemu dengan kappa tua di sebuah kuil yang begitu indah dan menjulang tinggi. Hal ini menimbulkan hasratnya untuk mengetahui tentang seluk- beluk agama kappa. Melalui kappa akan di sajikan peran agama di negeri Sakura. Fenomena tentang agama yang digambarkan dalam dunia kappa terlukis bahwa seorang pemuda yang terdampar di negeri kappa tiba-tiba mempertanyakan tentang agama kappa. Dalam nuansa satire ini Akutagawa ingin memberikan sindiran tentang eksistensi agama di Jepang. Jepang adalah negara sekuler, yang berarti negara tidak ikut campur masalah agama.

Dalam setiap data pemerintahan atau surat-surat resmi lainnya tentang identitas penduduk, masalah agama tidak dicantumkan dan juga tidak akan pernah ditanyakan. Agama adalah suatu kebebasan. Hal ini ditujukkan dengan bangunan kuil yang kebanyakan terbuka hampir tanpa pintu. Siapapun bisa datang dengan bebas untuk datang tanpa pernah membedakan agama apapun dan juga tidak akan pernah ditanyakan dengan pertanyaan apapun tentang agama. Hampir tidak ada basa-basi apapun yang perlu dilakukan agar bisa memasuki kuil dengan aman. Berkunjung ke kuil juga tidak dibatasi hanya untuk berdoa atau sembahyang saja, tetapi juga bisa dilakukan hanya untuk tujuan rekreasi atau sekedar kunjungan wisata saja. Hal inilah yang mungkin menyebabkan kebanyakan orang Jepang merasa nyaman kalau memilih tidak beragama, suatu kebebasan yang sepertinya tidak mungkin bisa didapatkan kalau harus memeluk suatu agama tertentu.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Akutagawa, Ryounosuke. 2009. “Kappa”. Yogyakarta : Perpustakaan Nasional

Pelajarbahasa. 2011. Makalah “Pendekatan Sosiologi”. Blogspot.com

You Might Also Like

4 komentar

Hii All.. Thanks for visiting my blog.. Please leave your comment and connect each other.. Thankyou ^.^