BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan adalah
sebuah keniscayaan, perubahan tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia.
Tanpa adanya perubahan maka dapat dipastikan bahwa manusia tidak akan bertahan.
Begitu juga dengan konteksnya dalam masyarakat. Masyarakat yang tidak mau
berubah tidak akan mampu menghadapi perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan
kemajuan teknologi, yang ada mereka akan tertinggal dan terus tertinggal.
Melihat kepada keberhasilan manusia dan masyarakat Jepang yang cukup menarik perhatian
umat manusia karena berbagai hal, bangsa Jepang telah membelalakkan mata dunia
dengan menjadi bangsa yang pilih tanding dalam kompetensi ilmu pengetahuan dan
teknologi. Jepang juga mampu mereformasi pendidikan secara menyeluruh yang
disesuaikan dengan dunia Barat.
Keberhasilan
Jepang sekarang ini tidaklah dapat dipisahkan dari kebangkitan bangsa Jepang
dari keterpurukannya sebelum lahirnya era terang yang sering disebut sebagai
“Restorasi Meiji”. Bangsa Jepang sebelum Restorasi Meiji adalah bangsa yang
penuh carut marut konflik sosial dan konflik antar kelompok, termasuk carut
marut ekonomi. Peristiwa Restorasi Meiji 1868 adalah sejarah agung manusia
Jepang sesudah carut marut politik itu. Restorasi Meiji menjadi sejarah besar
yang pengaruhnya begitu abadi bagi bangsa Jepang hingga saat ini.
Kerjasama antara Jepang dan Indonesia sudah terjalin sejak lama.
Migrasi orang Jepang ke Indonesia baru terjadi dalam skala besar pada akhir abad ke-19, meskipun sudah ada kontak perdagangan secara terbatas antara Indonesia dan Jepang setidaknya sejak abad ke-17. Jumlah warga keturunan Jepang yang hidup
dan tinggal di Indonesia sejumlah sekitar 2.500 orang . Mereka tetap menjalin silaturahmi sesama
komunitas keturunan Jepang dengan mendirikan Yayasan Warga Persahabatan. Keturunan
mereka disebut Nikkei Indonesia.
1.2
Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
a.
Bagaimana orang Jepang
(dalam mitos) di Indonesia
b.
Bagaimana hubungan di masa
awal
c.
Bagaimana restorasi meiji
dan migrasi orang jepang ke Indonesia
1.3
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah :
a.
Untuk mengetahui orang
jepang (dalam mitos) di Indonesia
b.
Untuk mengetahui hubungan di
masa awal
c.
Untuk mengetahui restorasi
meiji dan migrasi orang jepang ke indonesia
2.1 Orang Jepang (dalam Mitos) di Indonesia
Pada
zaman dulu, bangsa Jepang adalah bangsa yang sangat dekat, bahkam mempunyai
hubungan darah dengan Indonesia. Pada dekade kedua abad ke-20, mengutip
keterangan dari Departement van Builtenlandsch Zaken yang dirilis pada 1916, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie menyebut
bahwa orang Melayu dan Minahasa serta Bugis mengaitkan asal-usul nenek moyang
mereka dengan orang Jepang. Nenek moyang mereka berasal atau mempunyai hubungan
darah dengan orang Jepang. Tidak itu saja, beberapa produk budaya, misalnya
dari daerah Minahasa, seperti model rumah, bentuk pagar, nisan kubur dan lain
sebagainya dikatakan memiliki kesamaan dengan apa yang dimiliki orang Jepang
(‘Japanners in den Maleischen Archipel” dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie dalam Asnan:2011:11).
Orang Minang juga
mengatakan bahwa nenek moyang mereka memiliki hubungan darah dengan orang
Jepang. Tambo, historiografi tradisional Minangkabau, menyebut bahwa nenek moyang
urang awak itu bersaudara kandung dengan nenek moyang
orang Jepang dan Arab. Nenek moyang orang Minangkabau bernama Maharaja Diraja,
nenek moyang orang Jepang bernama Maharaja Depang, dan nenek moyang orang arab
bernama Maharaja Alif. Mereka bertiga adalah anak Iskandar Zulkarnain
(Alexander the Great) penguasa Makedonia (Amad Dt. Batuah dan A. Dt. Madjoindo
dalam Asnan:2011:14).
Dewasa ini, “pengakuan”
bahwa nenek moyang mereka bersaudara atau berhubungan darah dengan orang Jepang
tidak ditemukan lagi pada orang Melayu, Minahasa dan Bugis. Historiografi
tradisional Riau (daratan atau kepulauan) dewasa ini lebih cenderung mengaitkan
asal-usul mereka dengan Dunia Melayu (Malaysia) dan Dunia arab, Minahasa
mengaitkan para leluhur mereka dengan Raja mongol (China), dan Bugis tidak
mencari asal-usul nereka ke luar negri, namun menukikkan perhatiannya pada
negeri mereka sendiri, dengan menyebut bahwa mereka adalah keturunan la
sattumpugi, raja pertama Kerajaan Cina (bukan negara atau negri China di
daratan asia), tetapi sebuah kerajaan yang terdapat di jazirah Sulawesi
Selatan, tepatnya Kecamatan Pammana, Kabupaten Wajo saat ini.
Di kalangan orang
Minangkabau, mitos kesamaan nenek moyang ini masih tetap berkembang. Kebanggaan
akan danya hubungan darah antara mereka dengan orang Jepang masih menghiasi
halaman-halaman tambo, historiografi tradisional suku bangsa yang mendiami
bagian tengah kawasan barat Pulau Sumatera itu.
Adanya mitos yang
mengatakan bahwa adanya orang Jepang yang telah menganut Islam yang datang ke
Pulau Jawa pada akhir abad ke-18 dan danya sejumlah santri serta mubaligh jawa
yang pergi ke Jepang untuk berdakwah. Mitos ini diciptakan karena Islam juga
dijadikan sebagai salah satu pintu masuk bagi Jepang ke indonesia.
Mitos mengenai hubungan
Jepang dengan Indonesia juga diungkapkan dalam penulisan sejarah Indonesia
“modern”. Klooster merujuk pada karya Douwes Dekker yang berjudul Wereldgeschiedenis I. Oost Azie dan Vluchtig Overzicht van de Geschiendenis van
Indonesia menyebbut bahwa hubungan sejarah, ekonomi dan kebudayaan
Indonesia sebetulnya lebih kuat dan erat dengan Asia Timur termasuk Jepang)
dibandingkan dengan negeri-negeri di kawasan Barat (India, Arab dan Eropa).
Penulisan sejarah, baik
berupa cerita dan mitos atau risalah “sejarah modern” mempunyai andil yang
besar dalam membina ingatan kolektif sebagian orang Indonesia di masa lalu dan
juga saat sekarang mengenai adanya hubungan darah, keturunan serta sejarah
antara Indonesia dengan Jepang.
2.2 Hubungan
di Masa awal
Di alam nyata interaksi
bangsa Jepang dan Indonesia dilakukan oleh para saudagar (dan bajak laut),
serta baru terjalin sekitar abad-abad di pertengahan milenium kedua. Aktivitas
niaga menjadi sebuah fenomena dalam sejarah Jepang pada abad-abad sekitar
pertengahan milenium kedua, terutama pada zaman Ashikaha atau zaman Muromachi
(1338-1573) dan kemudian dilanjutkan pada zaman Azuchi-Momoya (1573-1615).
Sebelum bangkitnya etos niaga bangsa Jepang pada era Muromachi, kegiatan
perdagangan natara Negeri Matahari terbit tersebut dengan luar negeri dilakoni
oelh para saudagar China. Kapal-kapal dagang China telah mengunjungi
pelabuhan-pelabuhan Kyusu secara rutin pada masa Dinasti Sung. Pada abad ke-12
saudagar Jepang mulai terlibat dalam perdagangan mancanegara. Saudagar Jepang mulai
mengunjungi kota-kota bandar China dan kemudian pelabuhan-pelabuhan utama
Korea. Memasuki abad ke-14, para saudagar Jepang telah terlibat secara aktif
dalam dunia niaga laut Jepang dan Laut China Timur. Dan sejak saat itu mereka
mengambilalih peranan saudagar China dalam perdagangan antara Jepang dengan
China dan antara Jepang dengan Korea (Takeshi dalam Asna:2011:24).
Aktifnya Jepang dalam
dunia niaga dengan kawasan selatan bersamaan waktunya dengan kehadiran orang
Eropa di negeri mereka khususnya dan di kawasan Timur Asia lainnya. Pada 1541
orang portugis telah terdampar di pantai Jepang. Sesudah orang Portugis, dating
pula oranng spanyol pada 1592. Lalu pada 1600 saudagar Belanda masuk ke Jepang
dan pada 1609 mulai aktif berdagang.
Portugis yang telah
memiliki wilayah kekuasaan di Nusantara (Ternate dan Malak), Spanyol yang telah
memiliki kekuasaan di Phlipina, dan Belanda tang telah memiliki kekuasaan di
Maluku bagian selatan dan Batavia ikut-serta dan mempunyai andil dalam
menghubungkan Jepang dengan Indonesia pada hari-hari pertama terjalinnya kontak
antara Nusantara dengan Negeri Matahari Terbit itu.
Dalam sejarah hubungan
antara Jepang dengan Nusantara, Indonesia tidak hanya menjadi ajang niaga orang
Jepang. Negeri ini juga menjadi tempat bagi orang Jepang “mencari hidup” dengan
bekerja dalam lapangan pekerjaan yang tidak ada hubungan dengan dunia niaga.
Pada masa-masa awal berdirinya VOC misalnya, sejumlah orang Jepang menjadi
“tenaga kerja” dan “tentara” pada kompeni dagang saat itu.
Sejak 1638 Jepang
praktis menutup semua hubungan denagn dunia luar kecuali dengan VOC (Belanda),
Chian dan Korea. Pemutusan hubungan dengan mancanegara tersebut juga diperkuat
dengan pelarangan pembuatan kapal dalam ukuran besar yang dapat dipergunakan
untuk pelayaran jarak jauh atau ke luar negeri. Sejak saat itu, kapal-kapal
yang diproduksi atau dipakai hanyalah kapal-kapal dalam ukuran kecil dan
diperuntukkan pelayaran dan perniagaan antarpulau dalam negeri saja. Sejalan
dengan itu tamatlah kejayaan niaga internasinal Jepang. Sejak saat itu pulalah
untuk waktu sekitar dua setengah abad orang Jepang tidak lagi muncul di
Indonesia.
2.3 Restorasi Meiji dan Migrasi Orang
Jepang ke Indonesia
Meiji adalah nama
pemerintahan Kaisar Mutsuhito yang naik takhta 25 Januari 1868. Oleh sebab itu,
kurun waktu dia duduk di singgasana kekaisaran dinamakan zaman Meiji, sebuah
era yang berlangsung sejak 25 Januari1868 hingga 30 Juli 1912. Kaisar
Mutsuhito, namanya menjadi begitu populer karena dialah kaisar yang kembali
memegang hegemoni dalam berbagai lapangan hidup dan kehidupan orang (bangsa)
Jepangsetelah sebelumnya berada di tangan shogun.
Nama Kaisar Mutsuhito juga tercatat dalam sejarah modern Jepang karena pada
masa pemerintahannyalah terjadi perubahan (dan kemajuan) besar dalam kehidupan
sosial, politik, ekonomi dan budaya Jepang.
Pada hari-hari pertama
Restorasi Meiji, orang-orang yang pergi ke luar negeri, terutama terdiri dari
para tetinggi negeri, tujuan kepergian mereka lebih terfokus pada serangkaian
agenda kenegaraan, serta negara tujuan adalah Amerika serikat dan Eropa
khususnya dan dunia Barat pada umumnya.
Pada kesempatan
berikutnya, warga Jepang yang banyak pergi ke luar negeri terdiri dari orang
muda yang ingin menuntut ilmu. Kemudian adanya gagasan diberinya kesempatan bagi
warga yang miskin untuk mengadu nasib di luar negeri. Gagasan ini diharapkan
bisa memecahkan sebagian masalah sosial dan ekonomi Jepang. Dalam konteks
inilah lahirnya gagasan untuk mengirim tenaga kerja Jepang ke kawasan Utara (hokushin-ron) dan Selatan Asia (nanshin-ron). Pada hari-hari pertama
gerkan pergi ke Utara dan selatan ini dilaksanakan dengan cara-cara yang kurang
manusiawi (bahkan dengan keterpaksaan dan tipu daya). Dan umumnya warga yang
pergi itu terdiri dari kaum perempuan. Perempuan yang dibawa itu dijadikan
pelacur. Daerah mancanegara yang menjadi lokasi praktik adalah China, sehingga
dalam perbendaharaan bahasa Jepang para pelacur tersebut dikenal dengan sebutan
karayuki-san. Kata kara berati Chian dan yuki berati menuju atau pergi ke arah
suatu tempat, sehingga secara harfiah karayuki-san
berarti orang-orang (wanita) yang pergi bekerja ke China (Meta Sekar Puji
Astuti dalam Asnan:2011:47).
Bersamaan atau beberapa
saat setelah kepergian karayuki-san,
berangkat pula sejumlah lelaki (juga dari kelompok masyarakat “bersaghaja”) ke
luar negeri. Mereka bekerja sebagai pedagang kecil yang menjual berbagai barang
kebutuhan para karayuki-san (seperti
makana, pakaian, penyewaan tempat “praktik” sehingga sebagian dari mereka juga
berprofesi sebagai germo), penjual keliling berbagai barang yang dihasilkan
Jepang, dan ada juga yang bekerja sebagai petani kecil.
Jejak kehadiaran orang
Jepang di Indonesia terlacak pertama kali di kawasan Sumatera Timur.
Diperkirakan, mereka datang atau didatangkan dari Singapura atau Pulau Penang.
Sebagian orang Jepang yang berada di Indonesia pada akhir abad ke-19 terdiri
dari kaum perempuan dan bekerja sebagai pelacur. Sementara kaum lelaki
berprofesi sebagai pedagang keliling, germo, seta penjual berbagai obat-obatan.
Pada tahun-tahun
permulaan abad ke-20 jumlah pelacur jepang di Indonesia meningkat dengan
drastis. Praktik para karayuki-san
terdapat di daerah-daerah perkebunan, pertambangan, dan perikanan (di Sumatera,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku). Sejak pertengahan dasawarsa keda abad
ke-20 daerah operasi mereka semakin dipersempit.
Karayuki-san,
pedagang keliling, pedagang pemilik warung, pedagang barang kelontong, serta
penjual berbagai jenis obat dalam skala kecil menjadi ciri utama orang Jepang
yang datang pada periode awal ke Nusantara. Menurut Dick, kurun waktu yang
disebut sebagai periode awal kedatangan para imigran Jepang, yang terdiri dari
“orang-orang biasa” ini berlangsung hingga pecahnya Perang Dunia I (Dick dalam
asnan:2011:55). Untuk periode setelah itu, kalaupun masih ada dari mereka yang
datang ke negeri ini, maka jumlahnya sudah jauh berkurang dan jauh lebih
sedikit dibandingkan dengan kelompok yang mendomisili kedatangan pasca-Perang
Dunia I tersebut, yaitu golongann zaibatsu.
Para zaibatsu juga menggunakan kawasan Utara
dan selatan Asia sebagai daerah menyalurkan produk yag mereka hasilkan.
Perubahan kelas imigran Jepang yang datang ke Indonesia juga seiring dengan
terjadinya perubahan perlakuan atau perubahan kebijakan politik pemerintah Hindia
Belanda terhadap orang Jepang. Sejak 1899 pemerintah Hindia Belanda telah
memperlakukan imigran Jepang sebagai kelompok masyarakat kelas satu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di Indonesia banyak terdapat mitos tentang kedekatan
hubungan bangsa Jepang dengan bangsa Indonesia, bahkan mempunyai hubungan darah
dengan orang Indonesia. Pernyataan ini dilihat dari adanya pengakuan beberapa suku bangsa di Indonesia
yang menyatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari atau mempunyai hubungan
darah dengan orang Jepang. Suku bangsa tersebut adalah orang Melayu, Minahasa,
Bugis, dan minangkabau.
Namun dewasa
ini, pengakuan bahwa nenek moyang mereka bersaudara atau berhubungan darah
dengan orang jepang tidak ditemukan lagi pada orang melayu, minahasa dan bugis.
Orang Jepang datang ke Indonesia sebagai
saudagar. Kontak yang terjalin antara Indonesia dan Jepang itu dipengaruhi oleh
adanya portugis yang telah memiliki wilayah kekuasaan di Indonesia (Ternate dan
Malaka), Spanyol yang telah memiliki kekuasaan di Filipina, dan Belanda yang
telah memiliki kekuasaan di Maluku bagian selatan dan Batavia. Ketiga negara
Eropa ini telah menjalin hubungan dengan Jepang.
Sebelum perang dunia I, orang Jepang yang
datang ke Indonesia adalah para karayuki-san,
pedagang keliling, pedagang pemilik warung, pedagang barang kelontong,
petani kecil, serta penjual berbagai jenis obat dalam skala kecil. Setelah
perang dunia I, jumlah mereka yang datang ke Indonesia sudah jauh berkurang dan
jauh lebih sedikit dibandingkan dengan golongan zaibatsu yaitu kelompok masyarakat pemilik modal yang biasanya juga
terdiri dari pemilik berbagai perusahaan (industri, perkebunan, perikanan, dan
lain sebagainya).
Daftar
Pustaka
Asnan,
Gusti. 2011. Penetrasi Lewat Laut : Kapal-kapal Jepang di Indonesia Sebelum
1942. Yogyakarta : Ombak
0 komentar
Hii All.. Thanks for visiting my blog.. Please leave your comment and connect each other.. Thankyou ^.^