Japan Culture

IDEOLOGI DAN PANDANGAN KESUSASTRAAN JEPANG

19.30.00

A.    Ideologi dan Pandangan Kesusastraan Jepang
Sejarah kesusastraan  Jepang dalam bentuk tertulis sudah ada sejak abad ke-8 dan tidak mengalami perubahan sampai sekarang, misalnya Tanka (puisi pendek). Tanka adalah puisi yang sudah berumur seribu sekian ratus tahun, namun masih tetap hidup. Bentuk kesusastraan Tanka ini  paling cocok untuk mengekspresikan emosi dan gerak hati orang Jepang.
Rinen yang muncul dalam kesusastraan Jepang (misalnya: mono no aware pada zaman medio purba), rinen ini tetap hidup bersama dan berdampingan dengan kesusastraan rinen baru pada zaman berikutnya. Oleh karena itu, kesusastraan rinen makin lama makin komplek seiring dengan makin berlalunya waktu. Untuk memahami kesusastraan Jepang, khususnya kesusastraan klasik, kesusastraan rinen ini merupakan bahasa kunci, atau dengan kata lain merupakan suatu dasar yang dapat dipergunakan untuk mulai mempelajari kesustraan klasik.
a.      Masuraoburi dan Taoyameburi
Dalam buku Nihimanabu, Kamo Mabuchi, seorang kokugakusha (ahli perjepangan) zaman pertengahan mengadakan perbandingan gaya puisi Manyoshu dengan memakai terminologi masurao dan taoyume. Untuk membedakan gaya puisi, dia mencetuskan teori dengan memakai Istilah yang menggambarkan dua citra yang bertolak belakang, yakni masurao yang berarti pria yang hebat dan taoyome yang berarti wanita yang lemah lembut.
Mabuchi mengatakan bahwa rinen sudah dimiliki pada zaman ketika manyoshu ditulis, yaitu rinen yang berarti sifat jantan dan merupakan semangat khas Jepang purba, yang tidak dipengaruhi kebudayaan impor Cina. Murid Mabuchi sendiri yaitu Mootori no Norinaga menganggap bahwa pendapat Mabuchi yang berlandaskan sifat pria dan wanita itu adalah suatu yang tidak penting. Sebenarnya Mabuchi menemukan rinen lain dalam Manyoshu. Dia mengatakan bahwa puisi zaman dahulu terbit dari makogoro (hati tulus) orang-orang pada zamannya.
b.      Yugen dan Ushin
Menurut Fujiwara Shunzei, yugen merupakan ideology tertinggi sastra. Menurutnya, yugen adalah perpaduan dari aware (keindahan yan tidak semarak) dan taketakakibi (keindahan  yang semarak), walaupun sebenarnya dia memberi penekanan pada segi taketakakibi. Berbeda dengan Fujiwara Teika (putra Fujiwara Shunzei), yang menganggap bahwa ushin merupakan ideology tertinggi sastra, dan ushin ini sama seperti yugen yang dianggap sebagai perpaduan aware dan taketakakibi. Namun berlainan dengan Shunzei, Teika member penekanan pada segi Aware.
Dapat disimpulkan bahwa yugen maupun ushin adalah estetika merupakan perpaduan antara aware yang memiliki keanggunan dalam kesederhanaan dan taketakakibi yang memiliki kemegahan dan kecemerlangan serta kaya akan simbolisme dan yojo.
c.       Aware
Menurut perkembangannya, kata aware mengandung arti yang luas. Misalnya, kata aware pada zaman Heian yang diungkapkan sebagai okashi atau omoshiroi yang berarti lucu atau menarik. Karena itu, mono no aware berarti kesedihan atau rasa iba terhadap kesedihan atas nasib buruk yang menimpa diri orang lain, sedangkan dalan cerita mempunyai arti kesedihan dari seorang tokoh.
d.      Okashi
Okashi  berarti lucu atau menarik dan dipakai sebagai lawan dari aware (sedih). Adapun kata okashi dalam waka dan haikai renga mengandung unsur kokkei (lucu). Pada zaman Edo, selain dalam waka, unsur okashi ini terdapat pula dalam kyoka dan sen-ryu.
e.       Mujo
Kata mujo merupakan terjemahan dari anitya (bahasa Sanskerta) yang berarti semua isi bumi ini akan lenyap atau berubah bentuk, tidak ada yang kekal. Kata anitya (a = berfungsi meniadakan, nitya = selalu, kekal, abadi) masuk ke Jepang bersamaan waktunya dengan masuknya agama Budha.
Dalam agama budha sering dikatakan shogyo mujo yang berarti semua yang diciptakan memiliki sifat mujo, tidak kekal. Mujo diterima di dalam hati orang Jepang sebagai padanan terminologi hakanasa dan utsuroiyasusa yang keadaannya secara lebih jelas lagi dilukiskan pada ajaran yang berbunyi “shosha hitsumetsu, seisha hissui, dan esha jori” yang berarti sesuatu yang hidup itu harus mati, sesuatu yang mencapai puncak itu harus jatuh, dan sesuatu yang bertemu itu harus berpisah. Mujo khususnya terasa sangat dekat di hati orang Jepang karena dikaitkan dengan perubahan empat musim shunkashuto yang sangat nyata.
f.       Sabi
Sabi berarti sepi dan tenang yang artinya ialah ketenangan yang ingin dicapai oleh orang-orang yang sudah meninggalkan kehidupan dan hal-hal keduniawian. Sabi banyak diungkapkan dalam bidang kesenian, dan berkembang di dalam waka, renga, nohgakusho, chanoyu, dan haikai.
Sabi yang terkenal apda zaman Heian adalah sabi yang ditulis oleh Fujiwara Teika dalam buku shinkokishu.
Contoh :
Miwataseba Hana mo momiji mo Nakari
Keri ura no Tomoya no uki no Yugure
Sejauh mata memandang tak kelihatan bunga maupun momiji
Hanya sebuah gubuk di pantai pada waktu senja musim gugur

Sabi kemudian berkembang lagi pada zaman pramodern dan dipopulerkan oleh Matsuo Basho di dalam puisi haikai. Pada zaman itu, sabi bukan saja mempunyai nilai ketenangan, tapi juga mendapat nilai tambah yaitu kecerahan. Pada zaman moder seperti sekarang ini, haikai sudah berkembang, tetapi sabi masih dapat ditemukan dalam upacara minum teh atau chanoyu. Fenomena ini mebuktikan kepada kita bahwa sabi masih tetap hidup dan melekat pada hati orang Jepang.
g.      Wabi
Wabi berasal dri kata wabu yang berarti emosi yang lahir dari kekurangan harta dan keadaan yang tidak diinginkan.  Wabi juga mempunyai pengertian yang sama dengan sabi.  Banyak terdapat dalam waka, renga, haikai, noraku, dan chanoyu. Wabi sangat diagungkan sebagai idiologi sastra dalam upacara minum teh (chanoyu).
Juko, salah seorang tokoh chanoyu mengatakan bahwa chanoyu adalah dasar dari keindahan, wabicha. Estetika wabi lahir dari orang yang sudah menikmati hidup di kota besar kemudian menyingkir ke pedalaman untuk merasakan ketenangan hidup di alam pedalaman.
h.      En atau Yoen
Pada zaman Heian arti kata En atau Yoen digunakan untuk mengekspresikan atau mengungkapkan berbagai macam keindahan. Bukan hanya keindahan yang timbul dari seorang wanita atau dari hubungan pria dan wnita saja. Hal ini dapat dibuktikan dalam kalimat dari Genji Monogatari, yaitu:
Yuki ga Futte En Naru tasogarenotokini.
En pada kalimat tersebut mengungkapkan keindahan alam ketika salju turun. Jadi keindahan disini dipakai untuk menggambarkan keindahan yang dimiliki oleh alam, bukan keindahan wanita atau hubungan wanita dengan pria.
i.        Iki dan Tsu
Zaman pramodern Jepang di kuasai oleh golongan pedagang / chounin yang hidup bersenang-senang dengan kemampuan ekonomi yang cukup. Mereka berkencan dengan wanita-wanita penghibur. Mereka bersenang-senang di tempat seperti itu karena meraka mempunyai kemampuan ekonomi yang tinggi. Dari sinilah lahir filsafat asobi bermain dikalangan pedagang. Filsafat asobi ada dua, Iki dan Tsu. Pedagang dikatakan sebagai  manusia yang betul-betul merasakan percintaan atau bermain cinta.
j.         Fuga dan Furyu
Fuga itu sendiri adalah anggun, luwes, dan romantik. Sedangakan lawan kata zoku (keduniawian). Awalnya, di Cina kata fuga digunakan untuk sebutan orang yang mempunyai wajah dan penampilan yang tampan.  Sementara Fuga mempunyai konsep estetika yang artinya sama dengan myabi (elegan).  Fuga merupakan istilah dasar kebudayaan, kesusastraan, dan kesenian. Adapun kata furyu itu sendiri, dari zaman Nara sampai sekarang artinya diperluas sambil dipakai berkali-kali.
B.     Kesimpulan
Kesusastraan Jepang sudah ada sejak abad ke-8. Dalam ideologi dan pandangan kesustareaan, kesusastraan itu terdiri atas masuraoburi dan taoyameburi, yugen dan ushin, mono no aware, okashi, mujo, sabi, wabi, en atau yoen, iki dan tsu, serta fuga dan furyu. Masing-masing dari kesusastraan tersebut memiliki nilai estetika dan keindahan tersendiri seperti okashi dan aware yang merupakan estetika yang anggun.

You Might Also Like

0 komentar

Hii All.. Thanks for visiting my blog.. Please leave your comment and connect each other.. Thankyou ^.^