A. Ideologi dan Pandangan Kesusastraan
Jepang
Sejarah kesusastraan Jepang dalam bentuk tertulis sudah ada sejak
abad ke-8 dan tidak mengalami perubahan sampai sekarang, misalnya Tanka (puisi pendek). Tanka adalah puisi yang sudah berumur
seribu sekian ratus tahun, namun masih tetap hidup. Bentuk kesusastraan Tanka ini paling cocok untuk
mengekspresikan emosi dan gerak hati orang Jepang.
Rinen
yang muncul dalam kesusastraan Jepang (misalnya: mono no aware pada zaman medio purba), rinen ini tetap hidup
bersama dan berdampingan dengan kesusastraan rinen baru pada zaman berikutnya.
Oleh karena itu, kesusastraan rinen makin lama makin komplek seiring dengan
makin berlalunya waktu. Untuk memahami kesusastraan Jepang, khususnya
kesusastraan klasik, kesusastraan rinen ini merupakan bahasa kunci, atau dengan
kata lain merupakan suatu dasar yang dapat dipergunakan untuk mulai mempelajari
kesustraan klasik.
a.
Masuraoburi
dan Taoyameburi
Dalam buku Nihimanabu, Kamo Mabuchi,
seorang kokugakusha (ahli perjepangan) zaman pertengahan mengadakan
perbandingan gaya puisi Manyoshu dengan
memakai terminologi masurao dan taoyume. Untuk membedakan gaya puisi,
dia mencetuskan teori dengan memakai Istilah yang menggambarkan dua citra yang
bertolak belakang, yakni masurao yang
berarti pria yang hebat dan taoyome yang
berarti wanita yang lemah lembut.
Mabuchi mengatakan bahwa rinen
sudah dimiliki pada zaman ketika manyoshu
ditulis, yaitu rinen yang berarti sifat jantan dan merupakan semangat khas
Jepang purba, yang tidak dipengaruhi kebudayaan impor Cina. Murid Mabuchi
sendiri yaitu Mootori no Norinaga menganggap
bahwa pendapat Mabuchi yang berlandaskan sifat pria dan wanita itu adalah suatu
yang tidak penting. Sebenarnya Mabuchi menemukan rinen lain dalam Manyoshu. Dia mengatakan bahwa puisi
zaman dahulu terbit dari makogoro (hati tulus) orang-orang pada zamannya.
b.
Yugen
dan Ushin
Menurut Fujiwara Shunzei, yugen merupakan ideology tertinggi
sastra. Menurutnya, yugen adalah
perpaduan dari aware (keindahan yan
tidak semarak) dan taketakakibi
(keindahan yang semarak), walaupun
sebenarnya dia memberi penekanan pada segi taketakakibi.
Berbeda dengan Fujiwara Teika (putra Fujiwara Shunzei), yang menganggap bahwa ushin merupakan ideology tertinggi
sastra, dan ushin ini sama seperti yugen yang dianggap sebagai perpaduan aware dan taketakakibi. Namun berlainan dengan Shunzei, Teika member penekanan pada segi Aware.
Dapat disimpulkan bahwa yugen maupun ushin adalah estetika merupakan perpaduan antara aware yang
memiliki keanggunan dalam kesederhanaan dan taketakakibi
yang memiliki kemegahan dan kecemerlangan serta kaya akan simbolisme dan yojo.
c.
Aware
Menurut perkembangannya, kata aware mengandung arti yang luas. Misalnya, kata aware pada zaman Heian yang diungkapkan sebagai
okashi atau omoshiroi yang berarti lucu atau menarik. Karena itu, mono no aware berarti kesedihan atau
rasa iba terhadap kesedihan atas nasib buruk yang menimpa diri orang lain,
sedangkan dalan cerita mempunyai arti kesedihan dari seorang tokoh.
d.
Okashi
Okashi
berarti lucu atau menarik dan dipakai sebagai
lawan dari aware (sedih). Adapun kata
okashi dalam waka dan haikai renga
mengandung unsur kokkei (lucu). Pada
zaman Edo, selain dalam waka, unsur okashi ini terdapat pula dalam kyoka dan sen-ryu.
e.
Mujo
Kata mujo merupakan terjemahan dari anitya
(bahasa Sanskerta) yang berarti semua isi bumi ini akan lenyap atau berubah
bentuk, tidak ada yang kekal. Kata anitya
(a = berfungsi meniadakan, nitya = selalu, kekal, abadi) masuk ke
Jepang bersamaan waktunya dengan masuknya agama Budha.
Dalam agama budha sering dikatakan shogyo mujo yang berarti semua yang
diciptakan memiliki sifat mujo, tidak
kekal. Mujo diterima di dalam hati
orang Jepang sebagai padanan terminologi hakanasa
dan utsuroiyasusa yang keadaannya
secara lebih jelas lagi dilukiskan pada ajaran yang berbunyi “shosha hitsumetsu, seisha hissui, dan esha
jori” yang berarti sesuatu yang hidup itu harus mati, sesuatu yang mencapai
puncak itu harus jatuh, dan sesuatu yang bertemu itu harus berpisah. Mujo
khususnya terasa sangat dekat di hati orang Jepang karena dikaitkan dengan
perubahan empat musim shunkashuto
yang sangat nyata.
f.
Sabi
Sabi
berarti
sepi dan tenang yang artinya ialah ketenangan yang ingin dicapai oleh
orang-orang yang sudah meninggalkan kehidupan dan hal-hal keduniawian. Sabi
banyak diungkapkan dalam bidang kesenian, dan berkembang di dalam waka, renga, nohgakusho, chanoyu, dan haikai.
Sabi yang terkenal apda zaman Heian
adalah sabi yang ditulis oleh Fujiwara Teika dalam buku shinkokishu.
Contoh :
Miwataseba
Hana mo momiji mo Nakari
Keri
ura no Tomoya no uki no Yugure
Sejauh mata memandang tak
kelihatan bunga maupun momiji
Hanya sebuah gubuk di pantai pada
waktu senja musim gugur
Sabi kemudian berkembang lagi pada
zaman pramodern dan dipopulerkan oleh Matsuo Basho di dalam puisi haikai. Pada zaman itu, sabi bukan saja
mempunyai nilai ketenangan, tapi juga mendapat nilai tambah yaitu kecerahan.
Pada zaman moder seperti sekarang ini, haikai sudah berkembang, tetapi sabi
masih dapat ditemukan dalam upacara minum teh atau chanoyu. Fenomena ini mebuktikan kepada kita bahwa sabi masih tetap
hidup dan melekat pada hati orang Jepang.
g.
Wabi
Wabi
berasal dri kata wabu yang berarti
emosi yang lahir dari kekurangan harta dan keadaan yang tidak diinginkan. Wabi
juga mempunyai pengertian yang sama dengan sabi. Banyak terdapat dalam waka, renga, haikai,
noraku, dan chanoyu. Wabi sangat diagungkan sebagai idiologi sastra dalam
upacara minum teh (chanoyu).
Juko, salah seorang tokoh chanoyu mengatakan bahwa chanoyu adalah dasar dari keindahan, wabicha. Estetika wabi lahir dari orang
yang sudah menikmati hidup di kota besar kemudian menyingkir ke pedalaman untuk
merasakan ketenangan hidup di alam pedalaman.
h.
En
atau Yoen
Pada zaman Heian arti kata En atau Yoen digunakan untuk mengekspresikan atau mengungkapkan berbagai
macam keindahan. Bukan hanya keindahan yang timbul dari seorang wanita atau
dari hubungan pria dan wnita saja. Hal ini dapat dibuktikan dalam kalimat dari Genji Monogatari, yaitu:
Yuki ga Futte En Naru
tasogarenotokini.
En
pada
kalimat tersebut mengungkapkan keindahan alam ketika salju turun. Jadi
keindahan disini dipakai untuk menggambarkan keindahan yang dimiliki oleh alam,
bukan keindahan wanita atau hubungan wanita dengan pria.
i.
Iki
dan Tsu
Zaman pramodern Jepang di kuasai oleh golongan
pedagang / chounin yang hidup bersenang-senang
dengan kemampuan ekonomi yang cukup. Mereka berkencan dengan wanita-wanita
penghibur. Mereka bersenang-senang di tempat seperti itu karena meraka
mempunyai kemampuan ekonomi yang tinggi. Dari sinilah lahir filsafat asobi bermain dikalangan pedagang.
Filsafat asobi ada dua, Iki dan Tsu. Pedagang dikatakan sebagai
manusia yang betul-betul merasakan percintaan atau bermain cinta.
j.
Fuga dan Furyu
Fuga
itu sendiri adalah anggun, luwes, dan romantik. Sedangakan lawan kata zoku
(keduniawian). Awalnya, di Cina kata fuga digunakan untuk sebutan orang yang
mempunyai wajah dan penampilan yang tampan.
Sementara Fuga mempunyai
konsep estetika yang artinya sama dengan myabi
(elegan). Fuga merupakan istilah dasar
kebudayaan, kesusastraan, dan kesenian. Adapun kata furyu itu sendiri, dari zaman Nara sampai sekarang artinya
diperluas sambil dipakai berkali-kali.
B. Kesimpulan
Kesusastraan Jepang sudah ada sejak
abad ke-8. Dalam ideologi dan pandangan kesustareaan, kesusastraan itu terdiri
atas masuraoburi dan taoyameburi, yugen dan ushin, mono no aware, okashi, mujo, sabi,
wabi, en atau yoen, iki dan tsu, serta fuga dan furyu. Masing-masing dari kesusastraan tersebut memiliki nilai
estetika dan keindahan tersendiri seperti okashi
dan aware yang merupakan estetika
yang anggun.
0 komentar
Hii All.. Thanks for visiting my blog.. Please leave your comment and connect each other.. Thankyou ^.^