MASYARAKAT
EDO
Desa dan Kota
Pada
awal periode itu, perekonomian desa hampir sepenuhnya mampu menghidupi diri
sendiri. Bagian dari hasil panen yang dibayarkan untuk pajak berbeda-beda
menurut adat istiadat setempat dan situasi politik. Pada tanah milik bakufu bagian pajak biasanya 30 sampai
35 persen. Pada tanah milik daimyo
bagian pajak rata-rata hampir 40 persen. Beban pajak sangat berat, sehingga
yang tersisa hanya untuk memperbaiki kesuburan tanah.
Akibat
pertumbuhan perdagangan dalam negri dan pertumbuhan kota kecil yang
diakibatkannya, pada abad ke-17 keadaan berubah. Petani di sekitar wilayah
kota, mulai menanam tanaman untuk dijual, seperti sutra, kapuk, sayur mayur,
minyak nabati, bahkan padi. Beberapa menggunakan seluruh tanahnya untuk
bertanam jenis-jenis tanaman ini, dan menggunakan laba yang diperolrh untuk
membeli beras yang harus mereka bayarkan sebagai pajak. Dengan penghasilan lebih
tinggi, bakufu mencoba naik tingkat
masuk menjadi elite desa.
Kekacauan
sosial yang disebabkan oleh perubahan ekonomi ditambah dengan tekanan pajak,
menimbulkan pemberontakan di desa-desa. Pemberontakan tersebut terjadi dua kali
setahun. Tetapi dalam masa lima puluh tahun setelah itu, jumlah pemberontakan
meningkat dua kali lipat. Setelah tahun 1800, pemberontakan yang cukup besar
terjadi dan melibatkan petani dalam jumlah yang sangat besar dari berbagai
desa. Di tingkat local, pemberontak biasanya melampiaskan amarah kepada sasaran
terdekat, yaitu kepada kepala desa, pejabat, atau petani kaya.
Perlawanan-perlawanan
petani pada awal abad ke-19 kemungkinan besar dicetuskan oleh
persoalan-persoalan yang lebih luas dan ada hubungannya dengan pemerintahan feudal,
dank arena itu dari sisi politik lebih mengkhawatirkan. Masalah-masalah yang
sering dikemukakan para pemberontak berkisar dari keharusan membayar pajak baru
dan penggunaan alat ukur tanah palsu hingga monopoli, dan tuan tanah
menggunakan kekuasaannya untuk menarik pajak untuk menindas, untuk mendapatkan
penghasilan yang besar.
Pada
periode Edo, kota kecil benteng bernama norma. Kota kecil benteng berasal dari
kebutuhan yang dirasakan oleh daimyo yang mulai bermunculan, yakni membangun
tempat berpijak yang kokh tempat mereka dapat mempertahankan dan mengurus tanah
mereka. Orang-orang biasa yang paling disukai, dikelompokkan menurut pekerjaan
dan diberi tempat tinggal didaerah garis batas wilayah samurai. Kota-kota kecil
ini dengan cepat menjadi pusat kabupaten dengan fungsi perekonomian dan
politik. Kota kecil benteng juga mengembangkan hubungan dengan wilayah-wilayah
lain di Jepang. Bagian terbesar dari hasil penjualan kemudian dikirim ke Edo
untuk membayar pengelauaran bagi perawatan perumahan tuan tanah di Edo dan
biaya yang dikeluarkan tuan tanah dan samurai yang tinggal disana.
Di
wilayah-wilayah lebih luas, keadaan ini melahirkan pertumbuhan kota-kota kecil
yang cukup besar. Pada tahun 1721, Jepang memiliki lima kota besar dengan
penduduk di atas 100.000, kota terbesar adalah Edo.
Susunan kelas masyarakat pada zaman Edo
terdiri dari kuge, buke, samurai, kaum petani (hyakushou) dan orang kota
(chounin). Kaum petani dan orang kota dimasukkan dalam satu kelompok besar yang
disebut heimin yang secara harfiah
memiliki arti rakyat biasa. Ada orang – orang yang tidak termasuk ke dalam
salah satu golongan, mereka disebut eta.
Berikut adalah penjelasan rinci pembagian kelas masyarakat zaman Edo :
a.
Kuge adalah kelas
masyarakat yang paling tinggi. Kelas ini terdiri para keturunan bangsawan. Tennou dan para bangsawan – bangsawan di
istana masuk dalam kelas masyarakat ini. Dalam masyarakat mereka sangat
dihormati karena statusnya sebagai keturunan bangsawan, tetapi di sisi lain
kelas ini juga dipandang sebelah mata karena tidak mempunyai pengaruh strategis
dalam kehidupan politik dan ekonomi Jepang.
b.
Buke, terdiri dari para Shogun, Daimyou dan keluarga – keluarganya. Kelas kedua setelah kuge. Pada saat itu berjumlah sekitar
270 orang. Walaupun merupakan kelas kedua, kelas sosial ini sangat diperhitungkan
karena selama pemerintahan bakufu,
kelas inilah yang memegang kekuasaan strategis. Merekalah penentu kebijakan –
kebijakan dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi masyarakat.
c.
Samurai, adalah prajurit yang
menjadi pengikut setia para daimyou
dan shogun yang berjumlah sekitar dua
juta orang. Selain melakukan pekerjaan militer, para samurai juga melakukan
pekerjaan administrasi dalam pemerintahan shogun
dan daimyo. Sebagai tanda
kesamuraiannya mereka selalu mengenakan dua bilah pedang.
d.
Petani (hyakushou),
secara teoritis merupakan kelas yang berada langsung di bawah samurai dan
diatas chounin. Kelas ini pada
prakteknya adalah kelas yang paling tertindas. Kelas ini harus menjamin hidup
golongan kuge, buke dan samurai. Petani pada zaman edo juga tidak memiliki tanah
pertanian sendiri. Mereka hanya menggarap tanah dari tuan tanah, mereka juga
harus melaporkan hasil panennya secara berkala kepada para pemilik tanah.
e.
Chounin, kelas yang terdiri
dari para pengrajin dan pedagang. Pada masa Edo, saat kondisi politik relatif
stabil, perdagangan Jepang menjadi sangat maju, kelas pengrajin dan pedagang
inilah yang menjadi kelas pertengahan dengan kehidupan paling makmur. Ekonomi
uang yang menggantukan barter, menjadikan kelas pedagang semakin mendominasi.
Pada saat itu banyak pula para pedagang yang diangkat menjadi samurai, karena
adopsi atau pernikahan antar kelas pedagang dan samurai. Pernikahan seperti ini
sebagian dilatarbelakangi oleh permasalahan hutang. Hutang yang para samurai
kepada para saudagar yang dibayar dengan pernikahan dan pengangkatan kelas.
Walaupun sebenarnya hal ini melanggar kebiasaan.
f.
Eta, adalah kelas masyarakat
yang tidak termasuk dalam kelas – kelas yang telah ditetapkan. Kelas ini
terdiri dari para penjagal, penggali kubur, dan lain – lain. Dalam tatanan
masyarakat orang – orang yang masuk dalam kelas masyarakat eta benar – benar termarginalkan. Bahkan beberapa samurai dan daimyo akan merasa tercemar jika mereka
memasuki perkampungan yang banyak dihuni oleh orang – orang eta.
Sistem Masyarakat Feodal : Usaha Bakufu untuk Melemahkan
Peran Tennou
Awal munculnya Feodalisme di Jepang ditandai
dengan pembagian kekuasaan antara Tennou yang hanya memegang kekuasaan simbolik
semata dan kekuasaan Shogun yang memegang keuasaan praktis. Selama hampir 700
tahun feodalisme di Jepang berkembang sampai ke ranah masyarakat yaitu
pembentukan strata masyarakat yang sangat tegas dan kaku.
Alasan populer pemerintah Jepang menerapkan
pembagian kelas masyarakat dari mulai kelas yang paling suci sampai kelas yang
paling bawah, salah satunya adalah antisipasi pemberontakan kelas bawah. Namun,
pemantapan posisi bakufu dan pengkerdilan kekuasaan kaisar juga mungkin bisa
dijadikan alasan. Fakta – fakta menunjukkan bahwa hal tersebut mungkin terjadi.
Tennou dan bangsawan – bangsawan kaisar yang digaji oleh bakufu, Tennou yang
hanya boleh setahun sekali mengunjungi rakyatnya, sampai pengangkatan pejabat
kaisar yang harus dengan persetujuan bakufu adalah bukti nyata bahwa bakufu
berusaha mendominasi pada saat itu.
Kelas – kelas sosial pada masa Edo juga
membuat masyarakat terkotak – kotak. Hal ini secara tidak langsung juga akan
menjauhkan masyarakat dari kaisar. Masyarakat yang berada di kelas bawah telah
terdoktrin bahwa dirinya tidak pantas menemui kaisar, dan kaisar yang berada di
kelas paling atas mungkin juga akan merasa tercemar jika menemui rakyatnya. Hal
ini secara alami akan mengurangi peran kaisar dalam proses kehidupan sosial masyarakat
dan penentuan kebijakan. Bisa dikatakan pada saat itu, memang benar bahwa
kaisar tidak dapat diganggu gugat tetapi, pada saat itu pula kaisar hampir
seperti tidak punya keuasaan.
Dalam kondisi masyarakat yang terkotak –
kotak seperti itu pula pemerintah dalam hal ini bakufu lebih leluasa melakukan
apa saja kepada rakyatnya. Kasus yang terjadi pada saat itu orang – orang dari
kelas samurai dapat membunuh seseorang yang kelasnya lebih rendah, walaupun
hanya karena alasa sepele.
Kondisi pemerintahan dan masyarakat yang bisa
dikatakan tidak sehat ini akhirnya menemui keruntuhannya. Tidak adanya perang
membuat raison d’etre para samurai mulai dipertanyakan. Samurai – samurai yang
saat itu menganggur mulai banyak yang terlilit hutang. Hal ini secara tidak langsung
merusak respect masyarakat kepada kaum samurai. Selain masalah tersebut juga
terjadi pemberontakan yang justru tidak muncul dari rakyat jelata, tetapi
dilakukan oleh kaum samurai sendiri. Konflik horisontal yang terjadi di
kalangan samurai ini semakin membuat situasi kacau dan melemahkan bakufu.
Akhirnya kekacauan – kekacauan yang terjadi
tersebut membawa bakufu ke titik
kulminasi.Yaitu ketika kaisar sebagai kepala negara sudah tidak percaya lagi
kepada bakufu dan meminta keuasaan
pemerintahan kembali diampu oleh istana.
Pada zaman Edo jumlah kaum samurai kurang lebih 10% dari
jumlah penduduk Jepang saat itu. Namun, dalam jumlah yang kecil ini kaum
samurai harus mampu memerintah dan menguasai penduduk. Untuk itu Tokugawa
memberlakukan sebuah sistem hirarki sosial yang didasarkan Konfusianisme yang dikenal dengan shi-nō-kō-shō ( 士農工商 ), sehingga struktur masyarakat pada zaman ini terbagi menjadi dua, yaitu yang memerintah dan diperintah.
Dari istilah tersebut dapat dilihat kelas mana yang memiliki kedudukan tinggi
dan mana yang memiliki kedudukan rendah. Urutannya adalah sebagai berikut :
1. Shi : bushi – 武士 (samurai)
2. Nō : nōmin – 農民 (petani)
3. Kō : kōsakunin – 工作人 (pengrajin)
4. Shō : shōnin – 商人 (pedagang)
2. Nō : nōmin – 農民 (petani)
3. Kō : kōsakunin – 工作人 (pengrajin)
4. Shō : shōnin – 商人 (pedagang)
Pembagian serta susunan kelas ini berdasarkan fungsi dari
setiap kelas di dalam masyarakat. Bushi sebagai penguasa negara dengan
sendirinya berada di tingkatan paling atas, kemudian kaum petani (nōmin)
dianggap sebagai kelas yang produktif yang merupakan tiang atau sumber ekonomi
negara dan menghasilkan bahan makanan, yaitu padi-padian dan hasil ladang
lainnya. Pengrajin (kōsakunin) merupakan kelas masyarakat yang
memproduksi alat-alat kebutuhan sehari-hari. Sedangkan kelas pedagang (shōnin)
dianggap memiliki status rendah, karena mereka hanya dapat memperoleh
keuntungan dari hasil yang telah diproduksi orang lain.
Pembagian hirarki sosial ini tergantung pada pertimbangan
kelahiran dan status keturunan. Salah satu pemikiran konfusius yang diterapkan
pemerintahan Tokugawa adalah pemahaman terhadap hakekat takdir yang mengatakan,”manusia
harus menerima takdir semenjak lahir dan tidak dapat menggugat takdir” dengan adanya pemikiran ini, rakyat
secara tidak langsung dipaksakan untuk menerima keadaan serta status yang
dimilikinya dan tidak dapat mengusahakan kenaikan atau perbaikan statusnya ke
tingkat yang lebih tinggi. Pada kekuasaan shogun ke-3, Tokugawa Iemitsu, sistem
hirarki sosial ini semakin ketat dan diskriminasi antar kelas semakin jelas.
Hirarki sosial ini ditetapkan dengan tujuan tertentu, agar kelas penguasa tetap
dapat mempertahankan kedudukannya dan memiliki kekuatan untuk menekan kelas
yang berada di bawahnya. Susunan resmi yang ditetapkan Tokugawa mengenai
hirarki ini diperkuat dengan perbedaan penampilan pakaian, tutur bahasa, etika,
dan tata rambut serta pemakaian jenis pedang bagi kelas samurai.
Selain kelas yang terdapat dalam sistem hirarki shi-nō-kō-shō, di dalam
masyarakat feodal zaman Edo terdapat pula kelas masyarakat terendah yang
disebut Eta – Hinin.
Kelas ini dianggap sebagai masyarakat yang berasal dari keturunan orang-orang
buangan.
Pembagian
kelas yang secara vertikal ini telah disusun secara ketat dan kaku oleh
pemerintah, namun sesungguhnya dalam setiap lapisan kelas itu sendiri masih ada
tingkatan-tingkatannya lagi. Tingkatan tersebut dipengaruhi oleh jabatan,
wewenang, kekuasaan, atau peranannya di dalam masyarakat tersebut. Dengan
demikian timbul hubungan antara atasan dan bawahan yang di pengaruhi oleh
ajaran Konfusianisme. Pada mulanya hubungan ini hanya terdapat di dalam kelas samurai saja, tetapi kemudian hubungan “atasan dan bawahan” tersebut merata pula ke dalam
masyarakat umum.
Pembagian
tatanan sosial ini didasarkan pada ajaran Konfusianisme yang mengajarkan
pemaham terhadap hakikat takdir yaitu bahwa manusia harus menerima takdirnya
sejak lahir dan tidak dapat menggugat takdir. Pemikiran ini membuat rakyat
terpaksa menerima keadaan serta status yang dimilikinya dan tidak dapat
memperbaiki statusnya ke tingkat yang lebih tinggi. Diskriminasi kelas pun
semakin jelas. Tujuan ditetapkan Shinōkōshō adalah supaya kelas penguasa tetap
pada kedudukannya dan memiliki kekuatan untuk menekan kelas yang berada di
bawahnya.
Pada
zaman Genrōku (zaman kecil yang ada selama zaman Edo.
Berlangsung tahun 1646 M sampai 1709 M) perekonomian menjadi kacau karena
krisis ekonomi. Tokugawa Yoshimune (Shōgun generasi ke-8) melakukan
beberapa pembaharuan untuk membangun kembali perekonomian Bakufu. Ada tiga
reformasi yang dilakukan :
a.
Reformasi pertama
Merancanakan
pajak yang berlipat ganda dan cara membuka lahan baru serta
memerintahkan kaum Bushi untuk menghentikan hidup bermewah-mewah dan berhemat.
Reformasi ini berhasil, tetapi tidak berlangsung lama.
b.
Reformasi kedua
Memerintahkan
kaum Bushi untuk berhemat, menganjurkan Bushi untuk belajar beladiri dan ilmu
pengetahuan serta mengeluarkan perintah bahwa Bushi tidak perlu membayar hutan
kepada kaum pedagang. Reformasi ini gagal tapi mampu menolong kaum Bushi.
c.
Reformasi ketiga
Memerintahkan
kaum Bushi untuk berhemat dan melarang perkumpulan pedagang besar yang
melakukan pemborongan. Reformasi ini gagal.
Karena krisis ekonomi, para Daimyō jatuh miskin dan mereka
menyalahkan Bakufu. Yang paling buruk
nasibnya adalah petani, karena harus membayar pajak yang tinggi. Perasaan tidak
senang dan tidak puas terhadap bakufu
itu memupuk gerakan nasionalisme dan menjadi kekuatan besar yang menentang
kekuasaan Shōgun. Gerakan itu membuat
rakyat memuja kembali Shintōisme dan
menyanjung pemerintahan Tennō di masa
dahulu yang gemilang. Rakyat menghendaki supaya Tennō memegang kekuasaan kembali. Mereka menganggap kekuasaan Shōgun tidak sah. Bangsa
Jepang pun ingin menghidupkan kembali sifat-sifat Jepang lama.
Keadaan para Samurai yang semakin mundur dan petani yang semakin susah membuat
anasir-anasir menjatuhkan Shōgun semakin
kuat.
Ketika keadaan dalam negeri bergejolak,
negara-negara barat mendesak Jepang supaya membuka negerinya. Inggris
mengadakan revolusi industri dan mengadakan ekspansi ke seluruh dunia dan
Amerika pun bermaksud memperluas jangkauannya ke Asia. Pada tahun 1854 M
Amerika memaksa Jepang untuk menandatangani persetujuan dagang (persetujuan
Kanagawa) yang membuat Jepang harus membuka negeri dari bangsa asing.
Pembukaan negeri (Kaikoku)
tersebut membuat rakyat dan Bushi
menjadi susah serta perekonomian menjadi kacau. Dua golongan Bushi tingkat bawah yang disebut Satsuma dan Chōshū bersatu
dan memulai gerakan Sonnōjōi melawan orang asing tetapi kalah.
Mereka mengakui kekuatan orang asing dan berfikir untuk menjatuhkan Bakufu dan menyelenggarakan pemerintahan
baru yang berpusat pada kaisar. Saat itu muncul gerakan-gerakan anti Bakufu
yang disebut Bakumatsu.
Pemerintahan Tokugawa resmi berakhir
ketika Tokugawa Yoshinobu menyerahkan pemerintahan ke tangan Tennō (Taisei
Hōkan) pada tanggal 9 November 1867 untuk menghadapi krisis. Tanggal 19
November 1867 Tokugawa mundur dari jabatannya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Beasley,
W. G. 2003. Pengalaman Jepang :
Sejarah Singkat Jepang. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
0 komentar
Hii All.. Thanks for visiting my blog.. Please leave your comment and connect each other.. Thankyou ^.^